Langsung ke konten utama

"Racing Extinction" Film Dokumenter Yang Membahas Tentang Kepunahan Spesies Hewan Terbesar Di Bumi


       Film dokumenter berjudul "Racing Extinction" karya sutradara peraih Accademy Award, Louie Psihoyos, adalah Film dokumenter yang menggambarkan dunia yang telah mengalami enam kali kepunahan besar, yang terakhir terjadi adalah punahnya dinosaurus. Hanya dalam waktu satu abad, setengah dari spesies di bumi akan musnah. Sang sutradara menyajikan fakta-fakta ilmiah hewan apa saja yang akan segera punah jika manusia tidak bertindak melindungi mereka. Louie dan krunya juga melakukan operasi penyamaran dalam film tersebut untuk mengungkap perdagangan ilegal spesies langka. Ada tumpukan ribuan sirip hiu di Tiongkok dan insang Ikan Pari Manta dari Indonesia.

       Film juga menggambarkan beyapa tersiksanya Bumi akibat ulah manusia yang menghasilkan sekian banyak gas karbon dioksida dan metana ke atmosfer sehingga menyebabkan semakin asamnya lautan. Sebuah kamera khusus dirancang untuk merekam kepulan asap CO2 dan metana tak terlihat dari knalpot mobil, kapal, manusia bahkan binatang. Namun film juga menyajikan kisah sukses memasukkan Ikan Pari Manta ke dalam daftar larangan perdagangan internasional. Akhir cerita, sebuah mobil listrik yang dikemudikan pebalap Leilani Münter melakukan misi gerliya dalam memproyeksikan gambar spesies langka dan pesan-pesan harapan pada sisi-sisi gedung ikonik di New York City, Amerika Serikat seperti gedung Empire State. Ada macan tutul salju, harimau, burung hantu, dan berbagai hewan laut yang nyaris punah.

       Gambar-gambar yang dipadukan dengan suara alami mereka mengalihkan pandangan orang-orang yang lalu lalang di sekitar bangunan tersebut. Alunan suara lembut Sia dan Antony Hegarty pun terdengar di antara suara-suara satwa. Sia menyanyikan lagu “One Candle,” sementara Antony menyanyikan lagu "Manta Ray". 

       Makhluk raksasa itu hidup jutaan tahun yang lalu dan saat ini sudah tidak ada lagi tanda-tanda keberadaan mereka di bumi. Ada sih, tapi dalam bentuk fosil di berbagai museum di beberapa belahan dunia. Ternyata selain dinosaurus, ada hewan lain yang kalau dihitung-hitung usia keberadaannya di bumi, maka dia bisa jadi juaranya. Dan hewan ini masih ada sampai sekarang: hiu. Selain jadi bintang utama dalam film 'Jaws' yang diproduksi sampai beberapa seri, hiu juga merupakan objek utama perburuan liar di beberapa negara di dunia. Biota laut bertaring yang sensitif terhadap aroma darah ini diburu untuk dijual tidak hanya dagingnya saja, tetapi hampir seluruh bagian tubuh mereka. Yang paling sering kita dengar tentu saja sirip ikan hiu yang dibuat sup. Kisah tentang perburuan liar hiu-hiu yang kerap jadi santapan pembuka dalam sebuah mangkuk kecil dan dihargai fantastis di restauran mewah inilah yang jadi salah satu fokus film produksi Discovery Channel 'Racing Extinction'. Disutradarai oleh pemenang Academy Awards 'The Cove', Louie Psihoyos, 'Racing Extinction' punya kisah yang sangat menyentuh bak cerita-cerita romansa yang diangkat dari novel John Green. Bersama dengan Shawn Heinrichs (seorang ahli konservasi laut) dan Paul Hilton (seorang jurnalis foto), Louie membentuk sebuah tim khusus untuk menyelami lebih dalam mengenai sindikat perdagangan ilegal hiu di berbagai negara. Tiongkok dan Hong Kong adalah salah satu yang jadi tujuan dan punya rekaman perdagangan sirip ikan hiu (bahkan dagingnya) paling parah.

"50 ribu hiu ditangkap untuk praktek jual beri sirip setiap harinya!" demikan satu kutipan fakta dalam film berdurasi satu setengah jam tersebut.

       Sedihnya, tidak hanya Hong Kong dan negara Tiongkok saja yang melakukan perburuan liar terhadap hiu. Indonesia masuk ke dalam daftar tersebut. Shawn Heinrichs mengisahkan pengalamannya ketika menemukan seekor hiu buntung di salah satu perairan Indonesia. Suaranya bergetar ketika menceritakan hal tersebut. "Apa yang aku saksikan benar-benar mengerikan. Seekor hiu kecil mencoba berenang tetapi tidak bisa karena semua siripnya sudah dipotong. Benar-benar menyayat hati melihat kenyataan seperti ini, kenyataan yang orang lain mungkin tidak bisa lihat," katanya.

       Louie Psihoyos sang sutradara pun tak luput dari rasa haru ketika menyaksikan secara langsung fenomena-fenomena berdarah yang dialami oleh hewan-hewan yang ada dalam film termasuk hiu-hiu yang dicopot siripnya secara paksa. Setiap gambar, setiap adegan dan setiap tempat yang dikunjunginya membuat Louie merasa terpukul secara emosional. Tak heran jika 'Racing Extinction' jadi sebuah produksi dokumenter yang bisa banget bikin menangis. "Aku ingin ini jadi film yang emosional. Sains membuktikan, masyarakat berubah karena apa yang mereka rasakan. Kami ingin penonton merasa emosional dan berubah karena itu. Membuat film yang emosional dan menyelipkan harapan sangat penting untukku. Aku ingin membuat orang-orang menangis, namun tetap membuat mereka punya daya untuk mencari solusinya," komentar Louie lewat phone interview dengan detikHOT belum lama ini. Perburuan ilegal hiu dan si hiu buntung yang dibiarkan terapung tak berdaya di laut adalah sebagian kecil dari kisah-kisah menyentuh hewan yang bisa saja punah dalam beberapa tahun ke depan di 'Racing Extinction'. Louie Psihoyos berusaha menyoroti bagaimana manusia berperan sangat besar dalam hal ini. Kerusakan bumi, ketidakseimbangan ekosistem dan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap binatang yang dilakukan oleh manusia disampaikan lewat visual yang memanjakan mata. Belum lagi musik latar yang digunakan benar-benar ngena di hati.

       'Racing Extinction' berfokus pada kepunahan yang bisa saja terjadi tidak lama lagi buat beberapa jenis satwa yang kini semakin langka jumlahnya. Dan bahwa manusia punya peran yang sangat besar dalam hal itu, termasuk juga untuk melindunginya mulai dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Film produksi Discovery Channel ini akan ditayangkan perdana serentak di seluruh dunia pada 2 Desember mendatang pukul 20:00 WIB. Saksikan kisah menyentuhnya dan ikuti juga campaign yang dilakukan Discovery untuk 'Racing Extinction' yaitu #Startwith1Thing. Gerakan ini merupakan upaya global untuk mengajak semua masyarakat peduli terhadap lingkungan dan satwa dengan mulai melakukan sesuatu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suku Kajang Dan Tope Le’leng Kain Tenun Khas Suku Kajang

  oleh : Jumadil Awal        Tanah Toa adalah desa di kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Desa ini dihuni oleh suku Kajang. Secara administratif Desa Tana Toa adalah satu dari sembilan belas desa yang ada dalam lokasi kecamatan Kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Desa Tana Toa adalah desa tempat komunitas masyarakat adat Kajang yang masih erat dalam menjaga dan melindungi peradaban mereka sampai yang sampai hari ini masih di pertahankan. Bahasa sehari-hari         Penduduk adat Kajang menggunakan Bahasa Makassar yang dialek bahasanya berupa bahasa Konjo sebagai bahasa sehari-harinya. Masyarakat Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung. Arti bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bermakna “mencari sumber kebenaran. Prinsip hidup Suku Kajang        Tallase kamase-mase bermakna hidup memelas, hidup apa adanya, Hidup sederhana untuk orang-orang Kajang merupakan sejenis ideologi yang berperan sebag

Kompang, Desa Kecil Yang Kompak Di Kabupaten Sinjai

Kantor Kepala Desa Kompang Kecamatan Sinjai Tengah Kabupaten Sinjai Desa Kompang dan Ceritanya Sebuah desa di Kaki Gunung di Jazirah Sulawesi Selatan. Desa yang pernah menjadi buah bibir nasional. Juli 2006 silam dilanda bencana tanah longsor bersama sekian banyak wilayah lain di Kabupaten Sinjai Sulawesi selatan yang tertimpa bencana tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi secara bersamaan. Secara administratif Desa Kompang masuk dalam wilayah Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Luas wilayah Desa kompang 14,23 km². Di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bontosalassa, sebelah timur berbatasan dengan Desa Pattongko, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Saotanre, di sebelah barat berbatasan dengan Desa Gantarang. Desa ini yang berjarak kurang lebih 30 km dari ibu kota kabupaten (Sinjai Utara). Sedangkan dari Kota Provinsi Sulawesi Selatan dapat diakses melalui 3 jalur. Pertama, melalui jalur utara Kota Makassar, melewati Kawasan Perbukitan Karst

14 Tempat Wisata Terbaik Di Kabupaten Sinjai Yang Wajib Anda Kunjungi

       Sinjai adalah salah satu kabupaten yang ada di wilayah Sulawesi Selatan yang berbatasan dengan Kabupaten Bone. Jarak antara Kota Sinjai dengan Kota Makassar sekitar ± 220 km dengan waktu perjalanan sekitar 4 jam dari Kota Makassar menggunakan angkutan umum. Kota Sinjai memiliki banyak obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi. Jika anda memiliki rencana untuk berwisata ke daerah Sulawesi Selatan, maka Kota Sinjai adalah salah satu tempat wisata yang perlu anda kunjungi. Berikut 14 tempat wisata terbaik di Kabupaten Sinjai versi Beranda Rimba : 1. Taman Purbakala Batu Gojeng berada di puncak Bulupoddo, Karangpuang. Di dalam kawasan wisata itu terdapat kuburan batu serta ditemukan berbagai jenis benda cagar alam budaya seperti, fosil kayu dan peti mayat serta keramik yang diperkiran berasal dari zaman Dinasty Ming. 2. Rumah Adat Karampuang berada ditengah-tengah perkampungan tradisional tua di desa Tompobulu. Di tempat ini masyarakat setempat meyakini sebaga