Langsung ke konten utama

Anoa, Hewan Endemik Sulawesi Yang Terancam Punah


       Anoa adalah hewan endemik Sulawesi, sekaligus maskot provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan letak persebarannya, hewan ini tergolong fauna peralihan. Sejak tahun 1960-an, anoa berada dalam status terancam punah.Dalam lima tahun terakhir populasi anoa menurun secara drastis. Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih bertahan hidup. Anoa sering diburu untuk diambil kulit, tanduk dan dagingnya.

       Ada dua spesies anoa, yaitu: Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) dan Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis).Kedua jenis ini tinggal dalam hutan yang tidak dijamah manusia. Keduanya juga termasuk jenis yang agresif dan sulit dijinakkan untuk dijadikan hewan ternak (domestikasi). Kedua jenis ini dibedakan berdasarkan bentuk tanduk dan ukuran tubuh.Anoa dataran rendah relatif lebih kecil, ekor lebih pendek dan lembut, serta memiliki tanduk melingkar. Sementara anoa pegunungan lebih besar, ekor panjang, berkaki putih, dan memiliki tanduk kasar dengan penampang segitiga. Penampilan mereka mirip dengan kerbau, dengan berat berat tubuh 150-300 kilogram dan tinggi 75 centimeter. Saat ini konservasi anoa difokuskan pada perlindungan terhadap kawasan hutan dan penangkaran. Banyak yang menyebut anoa sebagai kerbau kerdil.

       Habitat anoa berada di hutan tropika dataran, sabana (savanna), terkadang juga dijumpai di rawa-rawa. Mereka merupakan penghuni hutan yang hidupnya berpindah-pindah tempat. Apabila menjumpai musuhnya, anoa akan mempertahankan diri dengan mencebur ke rawa-rawa dan jika terpaksa melawan, mereka akan menggunakan tanduknya.

       Berbeda dengan sapi yang lebih suka hidup berkelompok, anoa hidup semi soliter, yaitu hidup sendiri atau berpasangan dan hanya akan bertemu dengan kawanannya jika si betina akan melahirkan. Mereka paling aktif pada saat pagi dan sore hari, ketika udara masih dingin. Karena anoa memiliki kebiasaan mendinginkan tubuh mereka, karena itulah terkadang mereka suka berendam di lumpur atau air.
Kerbau kerdil ini makan berbagai jenis tumbuhan terutama kelompok dikotil sekitar 70% paku-pakuan termasuk perdu, semak dan liana, serta makan tumbuhan dari kelompok monokotil yaitu berbagai jenis rumput yang tumbuh di hutan termasuk pucuk dan rebung bambu. Buah matang yang jatuh ke tanah juga menjadi makanan kesuakaannya seperti buah berbagai jenis beringin, dongi/dengen, konduri, dan sukun hutan. Secara tidak langsung kerbau kerdil ini membantu penyebaran beberapa jenis tumbuhan asli Sulawesi sehingga regenerasi hutan senantiasa berlangsung, karena itulah mereka sangat penting artinya dalam menjaga kelangsungan hutan tropis di Sulawesi.

       Binatang khas Sulawesi ini sejak tahun 1960-an berada dalam status terancam punah. Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih bertahan hidup. Populasinya di tiga hutan yang ada di Gorontalo, yakni Suaka Margasatwa Nantu, Cagar Alam Panua, dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, diperkirakan hanya 450 ekor. Di Sulawesi Tenggara di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa diperkirakan terdapat 350 ekor. Di Suaka Margasatwa Nantu jumlah maksimalnya sekitar 100 ekor, hutan Panua 50 ekor, dan di taman nasional Bogani Nani Wartabone jumlah maksimalnya 300 ekor. Oleh karena itulah kedua spesies kerbau kerdil ini dilindungi undang-undang dan termasuk kategori terancam punah (Endangered Species) oleh IUCN (International Union for Conservation and Natural Resources), artinya hewan langka ini akan punah apabila tidak segera dilakukan tindakan konservasi terhadap populasi dan habitatnya.

       Mereka juga tercantum dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yaitu hewan yang tidak boleh diburu, ditangkap dan dibunuh serta diperdagangkan. Kedua spesiesnya termasuk ke dalam daftar sepuluh jenis mamalia yang menjadi prioritas nasional untuk dilestarikan. Faktor penyebab langkanya kerbau kerdil ini ada dua yaitu predator alami dan manusia. Salah satu predator alaminya adalah ular phyton yang suka memangsa anaknya atau hewan mudanya, sementara itu kelahirannya hanya 1 anak per kelahiran.

       Manusia sudah dapat dipastikan merupakan predator utama hewan langka ini. Aparat setempat pun dinilai tidak serius menangani perburuan liar hewan langka ini, para pemerhati dan peneliti menemukan tidak satu pun pemburu yang pernah ditangkap. Pengurangan wilayah hutan yang terjadi karena pembukaan hutan untuk perkebunan, permukiman, maupun penebangan liar juga turut andil dalam mempercepat proses kepunahannya. Seperti halnya komodo yang hanya ditemukan di Indonesia, anoa patut diberikan perhatian lebih oleh masyarakat setempat dan pemerintah Indonesia. Tidak hanya berguna bagi kelestarian alam, hewan langka ini apabila dikonservasi dan dikembangbiakan dengan serius, dapat menjadi pangan pengganti daging sapi yang harus selalu dibeli dari luar daerah Sulawesi. Semoga ke depannya, hewan khas Indonesia ini tidak menjadi langka lagi dan malah menjadi komoditas ekspor pangan khas dari Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suku Kajang Dan Tope Le’leng Kain Tenun Khas Suku Kajang

  oleh : Jumadil Awal        Tanah Toa adalah desa di kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Desa ini dihuni oleh suku Kajang. Secara administratif Desa Tana Toa adalah satu dari sembilan belas desa yang ada dalam lokasi kecamatan Kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Desa Tana Toa adalah desa tempat komunitas masyarakat adat Kajang yang masih erat dalam menjaga dan melindungi peradaban mereka sampai yang sampai hari ini masih di pertahankan. Bahasa sehari-hari         Penduduk adat Kajang menggunakan Bahasa Makassar yang dialek bahasanya berupa bahasa Konjo sebagai bahasa sehari-harinya. Masyarakat Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung. Arti bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bermakna “mencari sumber kebenaran. Prinsip hidup Suku Kajang        Tallase kamase-mase bermakna hidup memelas, hidup apa adanya, Hidup sederhana untuk orang-orang Kajang merupakan sejenis ideologi yang berperan sebag

Kompang, Desa Kecil Yang Kompak Di Kabupaten Sinjai

Kantor Kepala Desa Kompang Kecamatan Sinjai Tengah Kabupaten Sinjai Desa Kompang dan Ceritanya Sebuah desa di Kaki Gunung di Jazirah Sulawesi Selatan. Desa yang pernah menjadi buah bibir nasional. Juli 2006 silam dilanda bencana tanah longsor bersama sekian banyak wilayah lain di Kabupaten Sinjai Sulawesi selatan yang tertimpa bencana tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi secara bersamaan. Secara administratif Desa Kompang masuk dalam wilayah Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Luas wilayah Desa kompang 14,23 km². Di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bontosalassa, sebelah timur berbatasan dengan Desa Pattongko, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Saotanre, di sebelah barat berbatasan dengan Desa Gantarang. Desa ini yang berjarak kurang lebih 30 km dari ibu kota kabupaten (Sinjai Utara). Sedangkan dari Kota Provinsi Sulawesi Selatan dapat diakses melalui 3 jalur. Pertama, melalui jalur utara Kota Makassar, melewati Kawasan Perbukitan Karst

Inilah Ma'badong, Tradisi Unik Suku Toraja

  Ma'badong  satu tarian upacara asal dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tarian Ma'badong ini diadakan pada upacara kematian yang dilakukan secara berkelompok. Para penari (pa'badong) membentuk lingkaran dan saling berpegangan tangan dan umumnya mereka berpakaian hitam-hitam. Ma'badong bukan hanya sekadar tarian, melainkan sebuah kegiatan melagukan  badong  dengan gerak khas. [ Syair yang dilagukan disebut  kadong-badong  (the chant for the deceased). Isi dari syair tersebut tidak lain adalah pengagungan terhadap  si  mati.   Di dalamnya diceritakan asal-usul dari langit, masa kanak-kanaknya, amal dan kebaikannya, serta semua hal menyangkut dirinya yang dianggap terpuji.  Selain itu, di dalamnya juga mengandung harapan bahwa orang mati tersebut dengan segala kebaikannya akan memberkati orang-orang yang masih hidup. Penari melingkar dan saling mengaitkan jari-jari kelingking. Penari terdiri dari pria dan wanita setengah baya atau tua. Pa'badong melantunka