Langsung ke konten utama

Suku Kajang Dan Tope Le’leng Kain Tenun Khas Suku Kajang

  oleh : Jumadil Awal



       Tanah Toa adalah desa di kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Desa ini dihuni oleh suku Kajang. Secara administratif Desa Tana Toa adalah satu dari sembilan belas desa yang ada dalam lokasi kecamatan Kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Desa Tana Toa adalah desa tempat komunitas masyarakat adat Kajang yang masih erat dalam menjaga dan melindungi peradaban mereka sampai yang sampai hari ini masih di pertahankan.
Bahasa sehari-hari 
       Penduduk adat Kajang menggunakan Bahasa Makassar yang dialek bahasanya berupa bahasa Konjo sebagai bahasa sehari-harinya. Masyarakat Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung. Arti bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bermakna “mencari sumber kebenaran.
Prinsip hidup Suku Kajang 
      Tallase kamase-mase bermakna hidup memelas, hidup apa adanya, Hidup sederhana untuk orang-orang Kajang merupakan sejenis ideologi yang berperan sebagai pemandu serta rujukan nilai dalam menggerakkan kehidupan sehari-hari.
Sistem kepemimpinan Suku Kajang
       Pemimpin tertinggi sebagai pelaksana pemerintahan di lokasi adat Tana Toa ini yaitu Amma Toa. Amma Toa inilah yang bertanggungjawab pada pelestarian serta proses Pasang di komunitasnya.
Bentuk rumah Suku Kajang 
       Rumah suku kajang seragam bahannya, seragam besarnya, serta sedapat mungkin seragam arah bangunannya. Keseragaman itu punya maksud untuk menghindari saling iri di kelompok mereka, yang dapat menyebabkan pada hasrat mendapatkan hasil lebih banyak melalui cara merusak hutan.
Pakaian Suku Kajang 
       Masyarkat kajang menggunakan pakaian yang serba berwarna hitam. Warna hitam untuk pakaian baju dan sarungnya yaitu wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Warna hitam merupakan warna terbaik dari kesekaian banyak warna.
Proses menenun sarung hitam
       Suku kajang adalah sebuah komunitas adat di Sulawesi Selatan yang di kenal dengan pakainan hitam. Komunitas adat ini bermukim di desa Tana Towa, Kec. Kajang. Kabupaten Bulukumba. Setiap hari mereka menggunakan sarung hitam (tope leleng) yang mereka tenun sendiri dengan menggunakan pewarna alami.
Tope le’leng atau sarung hitam adalah sarung khas kajang yang dibuat dengan proses alamiah dan ditenun dari tangan-tangan terampil perempuan kajang. Sarung ini adalah pakaian masayarakat kajang yang digunakan sehari-hari. Sarung ini juga menjadi syarat ketika ada upacara-upacara adat di kajang.
Tenun kajang adalah sebuah budaya dimana prosesnya memiliki ikatan dengan alam. Alat-alat tenun yang digunakan adalah warisan nenek moyang yang terbuat dari bambu dan kayu. Pada umumnya ibu-ibu di kajang menenun di bawah rumah atau biasa juga disebut siring.
Sarung hitam ini dibuat dengan proses tradisional dengan tangan-tangan terampil perempuan kajang. Tidak semua perempuan (ibu) di sana bisa menenun. Keterampilan menenun juga lahir secara turun temurun.
Alat tenun suku kajang (Pattannungang) yang terbuat dari kayu hasil dari hutan kawasan kajang. Alat pembuatan kain tenun itu biasaanya dibuat oleh orang tua(Ayah) wanita kajang atau suaminya, inilah daftar nama dari bagian bagian alat tenun suku kajang
  • Tanrang ajeng
  • Pappakang
  • Panggepe
  • Balira/Baliro digunakan untuk menyentak benang
  • Tumpa
  • Pappasolongang adalah tempat penyimpangan alat kecil untuk menenun semacam benang dsb
  • Pakkarakang
  • Kara
  • Palili
  • Taropong merupakan tempat pengulungan benang yang dipake dalam menenun
  • Bu’rung
  • Suru
  • Book-boko
  • Sisiri
  • Par
       Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya, semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan.
       Kain-kain yang digunakan adalah hasil dari tenunan kaum wanita suku kajang sendiri, benang ditenun dengan menggunakan alat tenun bukan mesin, dengan menggunakan pewarna hitam dari daun indigofera atau nila. Proses pewarnaan kain sangat sederhana, hanya dengan menumbuk daun dan dicampur air, sehingga daun yang telah dihaluskan menjadi mengental dan di simpan diwadah. Untuk proses pewarnaan, kain dicelupkan kedalam wadah yang berisi pewarna hitam alami. Pencelupan dilakukan sampai 4 hari, setelah itu benang dijemur sampai kering. Setelah itu baru lah benang di tenun menjadi kain sarung yang digunakan oleh masyarakan suku kajang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompang, Desa Kecil Yang Kompak Di Kabupaten Sinjai

Kantor Kepala Desa Kompang Kecamatan Sinjai Tengah Kabupaten Sinjai Desa Kompang dan Ceritanya Sebuah desa di Kaki Gunung di Jazirah Sulawesi Selatan. Desa yang pernah menjadi buah bibir nasional. Juli 2006 silam dilanda bencana tanah longsor bersama sekian banyak wilayah lain di Kabupaten Sinjai Sulawesi selatan yang tertimpa bencana tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi secara bersamaan. Secara administratif Desa Kompang masuk dalam wilayah Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Luas wilayah Desa kompang 14,23 km². Di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bontosalassa, sebelah timur berbatasan dengan Desa Pattongko, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Saotanre, di sebelah barat berbatasan dengan Desa Gantarang. Desa ini yang berjarak kurang lebih 30 km dari ibu kota kabupaten (Sinjai Utara). Sedangkan dari Kota Provinsi Sulawesi Selatan dapat diakses melalui 3 jalur. Pertama, melalui jalur utara Kota Makassar, melewati Kawasan Perbukitan Karst

Inilah Ma'badong, Tradisi Unik Suku Toraja

  Ma'badong  satu tarian upacara asal dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tarian Ma'badong ini diadakan pada upacara kematian yang dilakukan secara berkelompok. Para penari (pa'badong) membentuk lingkaran dan saling berpegangan tangan dan umumnya mereka berpakaian hitam-hitam. Ma'badong bukan hanya sekadar tarian, melainkan sebuah kegiatan melagukan  badong  dengan gerak khas. [ Syair yang dilagukan disebut  kadong-badong  (the chant for the deceased). Isi dari syair tersebut tidak lain adalah pengagungan terhadap  si  mati.   Di dalamnya diceritakan asal-usul dari langit, masa kanak-kanaknya, amal dan kebaikannya, serta semua hal menyangkut dirinya yang dianggap terpuji.  Selain itu, di dalamnya juga mengandung harapan bahwa orang mati tersebut dengan segala kebaikannya akan memberkati orang-orang yang masih hidup. Penari melingkar dan saling mengaitkan jari-jari kelingking. Penari terdiri dari pria dan wanita setengah baya atau tua. Pa'badong melantunka