Langsung ke konten utama

Kompang, Desa Kecil Yang Kompak Di Kabupaten Sinjai

Kantor Kepala Desa Kompang Kecamatan Sinjai Tengah Kabupaten Sinjai

Desa Kompang dan Ceritanya
Sebuah desa di Kaki Gunung di Jazirah Sulawesi Selatan. Desa yang pernah menjadi buah bibir nasional. Juli 2006 silam dilanda bencana tanah longsor bersama sekian banyak wilayah lain di Kabupaten Sinjai Sulawesi selatan yang tertimpa bencana tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi secara bersamaan.
Secara administratif Desa Kompang masuk dalam wilayah Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Luas wilayah Desa kompang 14,23 km². Di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bontosalassa, sebelah timur berbatasan dengan Desa Pattongko, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Saotanre, di sebelah barat berbatasan dengan Desa Gantarang. Desa ini yang berjarak kurang lebih 30 km dari ibu kota kabupaten (Sinjai Utara). Sedangkan dari Kota Provinsi Sulawesi Selatan dapat diakses melalui 3 jalur. Pertama, melalui jalur utara Kota Makassar, melewati Kawasan Perbukitan Karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan, kondisi jalan cukup baik, dengan jarak kurang lebih 230 km. Kedua, melalui jalur arah timur kota Makassar, melewati kawasan wisata alam malino dan Kawasan pegunungan Bawakaraeng Lompobattang, kondisi jalan tidak terlalu baik, hanya jalur ini cukup ramai dilewati selain karena sepanjang jalan kita akan disuguhi pemandangan yang indah juga diantara jalur lain, jalur ini cukup dekat, berjarak sekitar 160 km. Ketiga, melalui jalur selatan Sulawesi selatan. Jalur ini merupakan jalur terjauh, berjarak sekitar 250 km, melalui wilayah pesisir laut pantai selatan.
Wilayah Desa Kompang sebagian besar adalah daerah pegunungan dan perbukitan dengan ketinggian 400-700 mdpl, suhu rata-rata 25°C, kepadatan penduduk 147 km². Di mana sebagian besar wilayahnya ditumbuhi vegetasi pinus (460 Ha) yang merupakan wilayah hutan lindung dan sebagian lagi vegetasi alamiah serta tanaman perkebunan rakyat berupa kakao, kemiri, dan cengkeh dengan luas 754 Ha. Pemukiman penduduk dengan luas 96 Ha, sebagian besar berada di lereng gunung dengan kemiringan sekitar 30-70 derajat. Pemukiman ini mengikuti jalan desa sepanjang 4 km yang menuju Kecamatan Sinjai Barat (juga menghubungkan Kabupaten Sinjai dengan kabupaten Gowa dan Kota Makassar), pemukiman tersebut sebagian kecil berada di daerah landai (Dusun Tombolo).
Selain perkebunan rakyat dengan luas 754 Ha juga terdapat sawah dengan irigasi semi teknis seluas 134 Ha dan sawah tadah hujan seluas 13 Ha. Berdasarkan data pemerintahan Desa Kompang Lahan pertanian sangat sedikit bila dibandingkan dengan lahan perkebunan, dari 494 KK (Data 2006) hanya 314 yang memiliki lahan pertanian dengan masing-masing hanya memiliki 0,5 Ha. Seluruh KK memiliki lahan perkebunan dengan kepemilikan kurang dari 0,5 Ha, sejumlah 123 KK, 0,5-1,0 Ha sejumlah 206 KK dan yang memiliki lebih dari 1,0 Ha sejumlah 165 KK.
Sebagian besar penduduk Desa Kompang menggantungkan hidup dari hasil penjualan tanaman perkebunan berupa kakao dan cengkeh. Menurut Data Profil Desa Kompang tahun 2006, sekitar 857 orang adalah petani, PNS 1 orang, Pengrajin 2 orang, Pedagang 6 orang . Hasil penjualan tersebut mereka penen untuk membeli beras sebagai bahan pangan dan lauk yang dibeli dari luar Desa Kompang.
Dari 494 Kelompok Keluarga seluruhnya memiliki lahan perkebunan yang ditanami kakao dan cengkeh, walapun jumlah kepemilikan bervariasi antara 0,5 Ha hingga 1,0 Ha per/KK dengan kondisi geografis bergunung-gunung rata-rata setiap lahan hanya ada sekitar 100 pohon kakao dan cengkeh. Menggantungkan hidup pada hasil komoditi perkebunan ekspor seperti kakao dan komoditi dengan harga tak menentu seperti cengkeh bagi sebagian besar penduduk Desa Kompang jelas tak terlalu menguntungkan, ini disebabkan oleh fluktuasi harga komoditi tersebut, apalagi sejak beberapa tahun terakhir produksi kakao milik penduduk Desa Kompang, juga di seluruh Sulawesi Selatan, mengalami penurunan drastis (lebih dari 50 %) karena serangan berbagai macam hama dan penyakit utama hama Penggerek Buah Kakao (PBK) dan busuk buah.
Menurut penuturan Pak Anshar, Kepala Desa Kompang, bahwa keberadaan wilayah Desa Kompang sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu. Walaupun hingga sekarang sudah mengalami dua kali pemekaran wilayah (Desa Saotanre dan Desa Gantarang). Secara turun temurun mereka sudah bermukim di sekitar pegunungan yang dialiri Sungai Bihulo dan Sungai Tiroang.
Dahulu kala wilayah Desa Kompang adalah sebuah wilayah kerajaan kecil yang bernama Kerajaan Kompang. Tak terlalu banyak informasi mengenai kerajaan tersebut. Kerajaan ini banyak berhubungan dengan Kerajaan Gowa Tallo. Sehingga menurut pengakuan Pak Anshar, bahwa tak sedikit tradisi lokal masyarakat Kompang memiliki kesamaan dengan tradisi di Kerajaan Gowa Tallo. Desa ini juga pernah menjadi basis pasukan DI/TII Kahar Muzakkar.
Sebelum wilayah Desa Kompang ditanami Tanaman Kakao dan Cengkeh, sebagian besar wilayahnya ditanami jagung. Hingga tahun 1980-an mereka menggantungkan diri pada tanaman jagung sebagai bahan pangan sehari-hari. Setelah program pemerintah dengan penanaman kakao, cengkeh sebagai tanaman produksi dan pohon pinus sebagai proyek rebosisasi hutan, secara budaya, sosial, ekonomi politik dan ekologi masyarakat dan wilayah Desa Kompang mengalami perubahan besar-besaran.

Dinamika Kehidupan
Dibandingkan dengan desa-desa lain di kecamatan tetangga seperti kecamatan Sinjai Barat dan Sinjai Timur jelas terlihat bahwa desa-desa di kecamatan-kecamatan tersebut jauh lebih makmur. Dinamika kehidupan Masyarakat Desa Kompang sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka bermukim.
Bulan Mei hingga bulan Oktober masyarakat Desa Kompang pada umumnya tinggal di desa mereka, karena praktis bulan-bulan tesebutlah mereka bisa mendapatkan penghasilan dari perkebunan untuk menghidupi keluarga. Untuk waktu setengah tahun kemudian banyak warga desa atau pemuda desa yang meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan lain di kota (Sinjai, Makassar dan kota-kota kabupaten lainnya).
Secara budaya (menurut penuturan beberapa tokoh pemuda) mereka tidak biasa menabung atau menyimpan sebagian penghasilan mereka untuk kepentingan dan kebutuhan mendadak (misalnya untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan), dan pengaruh dari luar dengan kebutuhan-kebutuhan tambahan yang banyak, mereka banyak menghabiskan penghasilan untuk hal-hal atau kebutuhan yang tidak terlalu mendesak untuk dipenuhi. Walaupun ada sebagian kecil penduduk yang menggunakan penghasilan tanaman kakao untuk kebutuhan harian dan penghasilan tanaman cengkeh untuk membeli perabot rumah tangga dan kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti TV, motor, dan lain-lain.
Tapi secara keseluruhan, menurut pengakuan beberapa narasumber, bulan-bulan tersebut (Mei-Oktober) adalah bulan menghabiskan penghasilan mereka. Karenanya pada bulan Oktober s/d Bulan April (tahun berikutnya), mereka berfikir akan meninggalkan desa menuju kota-kota tetangga seperti Kab. Bone, Kab. Gowa dan Kab. Makassar, untuk mencari penghasilan dari pekerjaan tukang batu dan tukang kayu.

Dinamika Politik
Menurut masyarakat, selama ini pemerintah Kabupaten menganaktirikan Kecamatan Sinjai Tengah dibandingkan dengan kecamatan lain seperti Kecamatan Sinjai Barat dan Kecamatan Bulupoddo yang menjadi basis kekuatan massa bupati yang menjabat sekarang. Menurut masyarakat bupati yang ada sekarang enggan, hampir tidak pernah, berkunjung sampai di desa-desa di Sinjai tengah apalagi memprioritaskan pembangunan di kecamatan tersebut. Bahkan, menurut salah satu pemuda desa, pemerintah kabupaten justru lebih mementingkan membangun jalan penghubung antar dua kecamatan yang menjadi basis massa bupati tersebut (Sinjai Barat dan Bulupoddo) ketimbang membangun jalan yang melewati Sinjai Tengah yang justru menjadi jalan penghubung utama antara Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Gowa.

Perubahan Yang Terjadi
Ada 3 faktor utama terjadinya perubahan pada masyarakat Desa Kompang, baik secara budaya, sosial, ekonomi, politik dan ekologi, di antaranya:

Program Reboisasi Hutan 
Masyarakat Desa kompang kadang-kadang mengenang kehidupan mereka bertahun-tahun yang lalu di Desa Kompang. Menurut pengakuan masyarakat bahwa dahulu daerah mereka memiliki sumber air yang berlimpah. Tanah mereka memiliki persediaan air yang banyak. Mereka tidak pernah kekurangan air bahkan pada musim kemarau pun. Bahkan dari sumber mata air di Desa Kompang mereka bisa menghanyutkan hasil-hasil hutan mereka berupa kayu dan ranting yang mereka jadikan tiang rumah atau kayu bakar.
Kemudian sampai pada suatu waktu di penghujung tahun 1983 bahaya kekurangan air menjadi persoalan hidup yang tidak mereka sadari awalnya. Bermula dari Program Reboisasi melalui penanaman Sejuta Pinus. Barulah beberapa tahun terakhirlah mereka sadari, bahwa ternyata pinus membawa masalah bagi kehidupan mereka. Menurut penduduk, saat pohon-pohon pinus di kawasan tersebut mulai tumbuh dan besar kekurangan air pun mulai terasa. Penanaman pinus dilakukan di atas lahan seluas 460 Ha oleh Pemerintah Kab. Sinjai (1983). Pinus-pinus yang ditanam tersebut merebut sumber air mereka. Sumber air tanah di Desa Kompang menjadi sangat berkurang. Mereka terancam kekurangan air pada musim kemarau. Untungnya satu tahun ini mereka bisa menikmati Proyek Perbaikan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) dengan memasang pipa-pipa air ke mata air sejauh 6 km dari Desa Kompang yang mampu menyuplai air bersih ke 120 rumah (disponsori oleh care Kanada). Malahan Proyek Reboisasi Hutan tersebut, ditengarai oleh penduduk Desa Kompang, sebagai penyebab utama longsor pada tahun 2006 yang menelan kerugian dan korban yang tak sedikit (hampir semua titik longsor ada di kawasan tanaman pinus).
Penanaman Kakao dan Cengkeh 
Menurut sejarah bahwa dahulu daerah mereka banyak ditanami jagung. Hampir keseluruhan daerah Desa Kompang ditanami jagung. Mereka menjadikan dan mengandalkan tanaman jagung sebagai bahan pangan sehari-hari. Untuk menjaga ketahanan pangan mereka, mereka membangun lumbung jagung di ladang-ladang mereka dengan membangun rumah-rumah kecil untuk menyimpan jagung. Tapi semuanya berubah. Sejak awal dekade 80-an, atas proyek pemerintah berupa penanaman kakao dan cengkeh digalakkan di Desa Kompang. Terdapat sekitar 754 Ha lahan yang dulunya merupakan lahan pertanian jagung diubah menjadi lahan perkebunan berupa kakao dan cengkeh.
Masyarakat ramai-ramai mengganti tanaman jagung mereka. ini berlangsung selama bertahun-tahun. Hingga terjadi perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lingkungan secara besar-besaran. Mereka kini harus membeli beras dari luar Desa Kompang untuk mengganti jagung sebagai sebagai bahan pangan. Kita tidak melihat lagi tanaman jagung di Desa Kompang. Mereka tidak pernah lagi mengkonsumsi jagung, padahal secara turun temurun jagung menjadi pangan sehari-hari mereka.
Secara budaya dahulu perempuan-perempuan di desa Kompang bisa mengolah jagung menjadi berbagai jenis dan bentuk bahan makanan mulai dari nasi jagung sampai panganan berbahan utama jagung seperti dodol jagung dan lain-lain. Namun beberapa tahun terakhir hampir tidak ada lagi yang menanam jagung dan menjadikannya bahan pangan sehari-hari, mereka tergantung dengan pasokan beras dari luar, dan tidak ada lagi gadis-gadis desa yang bisa mengolah jagung menjadi aneka bentuk makanan.
Masuknya Listrik 
Tak berbeda dengan beberapa desa di beberapa tempat lainnya, sejak masuknya listrik ke Desa Kompang, tahun 1997, banyak perubahan terjadi. Listrik memungkinkan masyarakat melakukan banyak hal. Listrik menjadi pintu utama akses keluar. Perubahan besar dan berarti banyak terjadi pada golongan anak-anak hingga remaja. Tatanan sosial yang terbentuk melalui pandangan dan sikap hidup, tata karma, kesopansantunan, model pergaulan banyak terpengaruh hingga akhirnya tergerus. Anak-anak hingga usia remaja menjadi kurang terkontrol. Masuknya listrik menarik Masyarakat Desa Kompang menambah deretan kebutuhan dengan alat-alat elektronik seperti televisi dan Telepon Selular. Melalui media tersebutlah banyak perubahan yang terjadi, paling tidak seperti itulah yang dituturkan dan dikeluhkan beberapa remaja Desa Kompang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suku Kajang Dan Tope Le’leng Kain Tenun Khas Suku Kajang

  oleh : Jumadil Awal        Tanah Toa adalah desa di kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Desa ini dihuni oleh suku Kajang. Secara administratif Desa Tana Toa adalah satu dari sembilan belas desa yang ada dalam lokasi kecamatan Kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Desa Tana Toa adalah desa tempat komunitas masyarakat adat Kajang yang masih erat dalam menjaga dan melindungi peradaban mereka sampai yang sampai hari ini masih di pertahankan. Bahasa sehari-hari         Penduduk adat Kajang menggunakan Bahasa Makassar yang dialek bahasanya berupa bahasa Konjo sebagai bahasa sehari-harinya. Masyarakat Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung. Arti bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bermakna “mencari sumber kebenaran. Prinsip hidup Suku Kajang        Tallase kamase-mase bermakna hidup memelas, hidup apa adanya, Hidup sederhana untuk orang-orang Kajang merupakan sejenis ideologi yang berperan sebag

Inilah Ma'badong, Tradisi Unik Suku Toraja

  Ma'badong  satu tarian upacara asal dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tarian Ma'badong ini diadakan pada upacara kematian yang dilakukan secara berkelompok. Para penari (pa'badong) membentuk lingkaran dan saling berpegangan tangan dan umumnya mereka berpakaian hitam-hitam. Ma'badong bukan hanya sekadar tarian, melainkan sebuah kegiatan melagukan  badong  dengan gerak khas. [ Syair yang dilagukan disebut  kadong-badong  (the chant for the deceased). Isi dari syair tersebut tidak lain adalah pengagungan terhadap  si  mati.   Di dalamnya diceritakan asal-usul dari langit, masa kanak-kanaknya, amal dan kebaikannya, serta semua hal menyangkut dirinya yang dianggap terpuji.  Selain itu, di dalamnya juga mengandung harapan bahwa orang mati tersebut dengan segala kebaikannya akan memberkati orang-orang yang masih hidup. Penari melingkar dan saling mengaitkan jari-jari kelingking. Penari terdiri dari pria dan wanita setengah baya atau tua. Pa'badong melantunka