Hari Jumat 3 Juni lalu, mungkin bagi banyak orang adalah hari Jumat biasa. Tetap menyenangkan karena akhir minggu sudah dekat. Tapi bagi kami dan ribuan orang yang telah mengirimkan e-mail ke General Mills, Jumat itu adalah Jumat kemenangan. Sebuah langkah yang berarti bagi masa depan hutan Indonesia. Hari itu, General Mills yang memproduksi Betty Crockers menyetujui untuk menghentikan pembelian pasokan minyak sawit dari IOI, perusahaan Malaysia yang terbukti mempunyai hubungan dengan pengrusakan hutan di Kalimantan.
IOI, salah satu perusahaan minyak sawit terbesar dari Malaysia, tengah menghadapi masa-masa sulit. Bukan hanya telah kehilangan sertifikasi berkelanjutan RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil)-organisasi untuk kelapa sawit yang berkelanjutan dan penangguhan status keanggotaannya, namun juga satu persatu pelanggannya mulai meninggalkan bisnis dengan IOI.
Laporan terbaru yang diluncurkan Greenpeace menunjukan daftar janji yang tidak ditepati oleh IOI, khususnya komitmen di bulan Januari 2014 untuk tidak melakukan pengeringan lahan gambut di kawasan konsesinya. Namun bukti-bukti kuat menunjukan kanal-kanal digali untuk mengeringkan lahan gambut di area PT Bumi Sawit Sejahtera (PT BSS), salah satu konsesi IOI di Kalimantan Barat. Lahan gambut yang kering sangat rentan terhadap api dan mudah terbakar, tentu saja tidak mengejutkan jika kebakaran yang terjadi di tahun 2014 dan 2015 lalu terjadi sebagian besar di lahan PT.BSS.
Dampak pengeringan ini jauh melewati batas-batas konsesi PT BSS. Kawasan di sekelilingnya yang ikut mengering menjadi rentan api dan bisa dipastikan kerusakan gambut di kawasan tersebut juga ikut terjadi. Namun IOI tidak mengakui kerusakan yang ditimbulkan.
IOI juga mengabaikan upaya Pemerintah Indonesia untuk mencegah agar kebakaran tahun lalu tidak terulang lagi, termasuk instruksi menteri untuk membendung kanal-kanal dan tidak menanam kelapa sawit di lahan yang terbakar. Investigasi lapangan bulan April lalu menyingkap kanal-kanal utama masih belum dibendung di konsesi PT BSS dan benih-benih sawit tertanam di atas lahan gambut yang hangus terbakar.
IOI jelas-jelas khawatir kehilangan sertifikasi RSPO-nya dan kehilangan para pelanggannya. Mereka bahkan menggugat keputusan RSPO ke jalur hukum, meskipun IOI adalah pendiri dan duduk sebagai dewan pengurusnya. Kabar baiknya, di awal minggu ini, IOI sendiri memutuskan untuk menghentikan tuntutan mereka, mungkin mereka berharap dapat menggunakan kesempatan pertemuan RSPO yang berlangsung di Milan hari ini (Kamis, 9 Juni) sebagai ajang lobi untuk meyakinkan RSPO agar bisa mendapatkan kembali status keanggotaannya.
Rencana aksi baru yang dibuat oleh IOI sebagai prasyarat penyelesaian komplain RSPO telah disiapkan. Sayangnya, tidak jauh berbeda dari kebijakan dan rencana yang sudah ada. Terdapat banyak kekurangan di berbagai tingkatan termasuk tidak adanya rencana pemetaan kawasan hutan dan lahan gambut, tidak ada tujuan atau batas waktu yang terukur, tidak adanya rencana untuk mengakhiri pengeringan gambut dan tidak ada rencana untuk merilis peta konsesi.
Banyak pelanggan dari IOI yang mendesak IOI untuk melebihi standar RSPO yang masih relatif lemah jika perusahaan ini ingin kembali berbisnis dengan mereka. Melihat rekam jejaknya, sepertinya banyak pelanggan IOI yang masih belum yakin terhadap komitmen dan kebijakan baru tersebut, sebab masih banyak yang harus dilakukan di lapangan untuk menciptakan perubahan yang nyata - mulai dengan membendung kanal-kanal, merestorasi lahan gambut yang rusak serta merilis peta hutan dan lahan gambut di kawasan konsesi mereka.
Sampai semua itu terjadi, RSPO seharusnya tetap menangguhkan keanggotaan IOI, demikian juga pelanggan-pelanggan yang telah memutuskan kontrak, seharusnya tetap menunda pembelian dari IOI sampai perusahaan ini benar-benar berubah serta memantau setiap komitmen dan aksi nyata mereka untuk melindungi hutan Indonesia.
Sumber : http://www.greenpeace.org/seasia/id
Komentar
Posting Komentar